Alumni FKIP Unitomo Buktikan Kecintaannya Terhadap Sastra Budaya
Kumpulan careta pandha’ (carpan) Tora yang diterbitkan Jawa Pos Radar Madura (JPRM) memberikan manfaat. Mustaim menyelesaikan tesis sebagai syarat kelulusan studi pascasarjana dengan mengangkat buku ini menjadi objek penelitian.
Papan petunjuk tukang kunci menjadi tanda menuju kediaman Mustaim. ”Ikuti saja papan tukang kunci itu. Nanti saya sudah bisa lihat Sampean,” kata pria 39 tahun itu memberi petunjuk kepada JPRM saat hendak menemuinya.
Setelah melalui jalanan berbelok, Mustaim melambai. Sampai di depan kediamannya, dia mempersilakan masuk. Duduk lesehan jadi pilihan. Tesis hasil karyanya ditunjukkan. ”Tradisi Masyarakat Madura dan Nilai Budaya Dalam Kumpulan Cerpen Tora, Kajian Antropologi Sastra,” judul tesis itu.
Hasil penelitian untuk memenuhi syarat kelulusan studi pascasarjananya di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya. Alumnus STKIP PGRI Bangkalan ini melalui ikhtiar panjang untuk bisa meraih gelar Magister Pendidikan dan Bahasa Indonesia Unitomo.
Pemilihan buku Tora sebagai objek pembahasan tesis memiliki cerita yang akan tetap dikenang. Sebelum memilih buku yang terbit pada 2018 ini, Mustaim awalnya mengajukan judul yang sama dengan skripsinya untuk dijadikan tesis. Namun, tidak diperkenankan.
”Saya mengajukan judul yang sama dengan penelitian saya waktu S-1. Kajian sosiolinguistik. Tapi katanya butuh waktu lama,” kata pria yang pernah menempuh pendidikan di SDN Jaddih 1 Socah itu.
Dia kemudian mengajukan judul seputar bahasa suku Tengger di Jember. Juga ditolak. Alasannya tetap, karena butuh waktu lama. Sementara waktu yang dimiliki untuk bisa lulus tepat waktu hanya tersisa beberapa bulan.
Dia disarankan membuat tesis yang mudah dan bisa cepat dikerjakan. Beberapa judul yang diajukan ditolak lagi. Mustaim yang kini menjabat sebagai Kepala SMA Al-Furqon Tanah Merah itu teringat jika JPRM menerbitkan halaman sastra budaya setiap Minggu.
Kemudian diajukan. Diterima, dengan syarat harus banyak koleksi tulisan sastra budaya yang diterbitkan. Akhirnya, anak sulung dari empat bersaudara itu mencoba datang ke kantor JPRM. Mencari arsip koran yang memuat halaman sastra budaya.
Hingga akhirnya dia mendapat buku kumpulan Carpan Tora. ”Setelah saya tunjukkan bukunya, langsung diterima dosen pembimbing,” kata alumnus Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Falah Kepang, Bangkalan itu.
Setelah diterima sebagai objek pembahasan, semula Mustaim ingin membahas tentang penggunaan bahasa Indonesia pada penulisan bahasa Madura dalam buku Tora. Misalnya, kata pendidikan, pengadilan, dan lainnya. Kata-kata tersebut sudah ditandai lalu diajukan. Namun tidak diterima.
”Kata pembimbing, bisa jadi bahasa itu walaupun bahasa Indonesia sudah dibakukan jadi bahasa Madura. Akhirnya diarahkan ke sastranya saja,” ungkapnya.
Dalam buku yang beris 63 cerita pendek karya 21 penulis Madura itu ada beberapa budaya yang diceritakan. Kemudian dia diminta untuk mengkaji antropologi sastranya. Semester 3, Januari 2018 tepatnya, Mustaim mulai menggarap tesisnya.
Ada beberapa kesulitan saat melakukan pembahasan. Sebab, bahasa Madura yang dipakai dalam buku Tora tidak menggunakan bisat (tanda baca) karena ikut ejaan penulisan yang baru. Selain ada banyak kosakata yang tidak dia pahami, juga terdapat beberapa kosakata yang tidak dipakai dalam bahasa Madura di Bangkalan.
”Alhamdulillah, diterima dan lulus. Buku ini sudah saya baca empat kali,” kata putra Abd. Muin, 87, dan Saniyah, 88, itu.
Proses pendidikan Mustaim juga tidak mudah seperti orang pada umumnya. Dia adalah tulang punggung keluarga. Lulus SD, dia menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Falah Kepang, Bangkalan. Untuk mendapat legalitas pendidikan formal, dia menempuh pendidikan kesetaraan. Paket B dan C. Dia enam tahun menjadi kaum sarungan.
Setelah lulus dia tugas pengabdian mengajar selama tiga tahun di salah satu madrasah di Kecamatan Galis. Kemudian kembali lagi ke pondok selama empat tahun. Mengabdi jadi pengurus pondok. Setelah itu, dia ditugaskan di lembaga pendidikan formal di Kecamatan Tanah Merah. Yayasan Al-Furqon menjadi tempatnya bertugas hingga saat ini.
Menjadi guru, persyaratan berlatar belakang sarjana menuntutnya melanjutkan studi. Agar bisa mandiri, dia membuka usaha bersama teman-temannya. Mengabdi, menjalankan usaha warung makan, dan menjadi mahasiswa dijalaninya saat itu. Dua tahun berjalan, usaha milik bersama itu ditutup karena sibuk dengan urusan masing-masing.
Setelah itu, dia mencoba membangun usaha perlengkapan resepsi pernikahan, kuade. Mustaim juga mencoba untuk bisa merias pengantin. Usahanya itu pun berjalan. ”Pengantin yang dirias saya jadi spesial karena didandani lulusan S-2,” candanya.
Saat ini dia menjabat sebagai kepala SMA Al-Furqon Tanah Merah. Dia juga menjabat Plt Kepala SMP di lembaga yang sama. Jabatannya saat ini menuntutnya melanjutkan pendidikan jenjang pascasarjana.
Lulus dengan mengangkat penelitian tentang tradisi masyarakat Madura dan nilai budaya yang ada dalam buku Tora. ”Sekarang sudah lulus S-2. Alhamdulillah,” ucap pria asal Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Bangkalan itu.
Koordinator Liputan (Korlip) JPRM Lukman Hakim AG menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Mustaim karena menjadikan buku Tora sebagai objek penelitian tesisnya. Hal itu membuktikan buku sastra dan budaya Tora bisa diterima dan bermanfaat bagi masyarakat.
Buku tersebut merupakan kumpulan cerita pendek yang dikirimkan pembaca JPRM mulai Juli 2015 hingga akhir Desember 2016. Buku tersebut terbit pada 2018.
”Dengan buku itu, pernyataan pemuda Madura malas menulis sastra budaya terbantahkan. Sebab, banyak pemuda yang mengirimkan tulisannya dan terbit di halaman Sastra Budaya,” jelasnya.
Redaktur Budaya JPRM sekaligus editor buku Tora itu mengatakan, kisaran usia penulis dalam buku tersebut antara kelahiran 80 dan 90-an. Ada juga penulis generasi kelahiran tahun 2000-an. ”Puji syukur, buku Tora bisa memberikan kemanfaatan kepada masyarakat,” pungkasnya.
(mr/bad/hud/bas/JPR)
Artikel ini telah tayang di Radar Madura.Id dengan judul Inilah Bukti Pemuda Madura Gemar Menulis Sastra Budaya